Minggu, 16 Desember 2012

tugas kuantitatif 2_maria wahami yanti yana




PENGARUH MINUM TEH
TERHADAP KEJADIAN ANEMIA PADA USILA
DI DESA PODOR FLORES


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh minum teh terhadap kejadian anemia kurang zat besi pada
penduduk usia lanjut (usila). Populasi penelitian ini adalah usila di Kota Bandung dan sampelnya dipilih secara acak sebanyak 132 usila di Kecamatan Cicendo. Metode pengukuran hemoglobin menggunakan Sianmethemoglobin, sedangkan kebiasaan minum teh diukur dengan catatan asupan makanan (food record) 1 x 24 jam selama 7 hari.
 Analisa data menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian didapatkan bahwa kejadian anemia pada usila di Kota Bandung adalah 47,7% (95%CI = 39%—56%). Separuh dari responden (49%) mempunyai kebiasaaan selalu minum teh tiap hari (95%CI = 40%—58%). Usila yang selalu minum teh tiap hari mempunyai risiko untuk anemia 92 kali lebih tinggi (95%CI=8—221) dibandingkan usila yang tidak pernah minum teh setelah dikontrol dengan variabel konsumsi lauk dan konsumsi pauk. Apabila kebiasaan minum teh setiap hari dapat dikurangi maka kejadian anemia pada usila dapat diturunkan sebesar 85%, dari 47,7% menjadi 7,3%.
 Kejadian anemia dapat diturunkan dengan cara mengurangi
kebiasaan minum teh atau meningkatkan konsumsi protein, namun mengingat kondisi gigi serta keuangan usila, maka
perubahan kebiasaan minum teh merupakan pilihan yang paling bijak untuk menurunkan kejadian anemia.

A.    LATAR BELAKANG

Kebiasaan minum teh sudah menjadi budaya bagi penduduk dunia. Selain air putih, teh merupakan minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia. Rata-rata konsumsi teh penduduk dunia adalah 120 mL/hari per kapita. Ada tiga jenis utama minuman teh yaitu 1) teh hitam yang banyak dikonsumsi oleh bangsa Eropa, Amerika Utara, dan Afrika Utara (kecuali Moroko), 2) teh hijau yang banyak dikonsumsi oleh bangsa Asia (termasuk Indonesia), dan 3) teh oolong yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Cina dan Taiwan. Teh adalah minuman yang kaya antioxidan. Cao et al, 1996  menemukan bahwa teh hijau dan teh hitam mempunyai kadar antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan sayuran seperti bawang putih, bayam, dan kale.
Teh diketahui mempunyai banyak manfaat kesehatan, antara lain menurunkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskuler (Hertog, 1997) 2 dan menghambat perkembangan kanker (Yang C et al., 2000)  mempunyai efek untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut karena kandungan natural florida yang dimilikinya dapat mencegah terjadinya karies pada gigi
(Jones C et al., 1999)  mengurangi risiko terjadinya patah tulang pada usila karena densitas tulang pada mereka yang minum teh lebih baik daripada mereka
yang tidak minum teh (Hegarty et al., 2000).
Hindmarch et al. 2000  melaporkan bahwa konsumsi teh dapat meningkatkan kondisi kognitif dan psikomotor pada orang dewasa. Curhan et al, 1998 7 melaporkan
bahwa adanya hubungan yang negatif antara konsumsi teh dengan kejadian batu ginjal pada wanita usia 40-65 th. Setelah dikontrol oleh variabel pengganggu, konsumsi teh sebanyak 240 ml per hari dapat menurunkan risiko terjadinya batu ginjal sebesar 8%. Walaupun teh mempunyai banyak manfaat kesehatan, namun ternyata teh juga diketahui menghambat penyerapan zat besi yang bersumber dari bukan hem (non-heme iron). Hurrell RF, Reddy M, dan Cook JD,1999  melaporkan bahwa teh hitam dapat menghambat penyerapan zat besi non-heme sebesar 79-94% jika dikonsumsi bersama-sama.
Anemia kekurangan zat besi pada anak-anak di Arab Saudi dan di Inggris juga dilaporkan berhubungan dengan kebiasaan minum teh (Gibson, 1999) 9. Dilaporkan juga bahwa dampak dari interaksi teh dengan zat besi ini bergantung pada status konsumsi zat besi dan karakteristik individu. Usia Lanjut (Usila) merupakan keadaan alamiah yang dialami oleh setiap orang ketika telah mencapai umur tertentu. Menurut UU no. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Usia Lanjut yang dimaksud dengan kelompok usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun atau lebih. Jumlah dan proporsi penduduk usila di Indonesia semakin lama semakin meningkat, seiring dengan peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kesehatan, telah terjadi peningkatan umur harapan hidup penduduk Indonesia.
Hasil Sensus Penduduk tahun 1971 menyebutkan bahwa terdapat 5,3 juta penududuk usila atau 4,5% dari total penduduk Indonesia. Sensus Penduduk tahun 2000 menyebutkan jumlah penduduk usila telah menjadi 14,5 juta atau 7,1% dari total penduduk Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu 30 tahun (1971—2000) telah terjadi peningkatan jumlah penduduk usila 3 kali lipat. Depkes RI memperkirakan tahun 2010 jumlah usila akan menyamai jumlah balita yaitu sekitar 8,5% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 19 juta jiwa, yang akan membawa Indonesia memasuki era penduduk berstruktur tua. Status kesehatan usila secara umum mulai menurun, terutama pada kondisi fisik dan psikososial yang berpotensi menimbulkan masalah kesehatan lainnya.
Permasalahan yang dihadapi usila pada umumnya adalah penyakit degeneratif dan gizi. Kelompok usila pada umumnya memiliki gigi yang tidak sempurna lagi, sehingga mempunyai keterbatasan dalam mengkonsumsi zat besi yang bersumber dari hewani (heme iron), akibatnya usila sangat rentan terhadap kejadian anemia. Walaupun usila dapat mengkonsumsi zat besi bersumber nabati, namun apabila dikonsumsi bersama-sama dengan  teh maka penyerapan zat besinya akan terhambat, sehingga usila tersebut tetap rentan terhadap kejadian anemia. Anemia kurang zat besi merupakan penyakit nomor satu terbanyak yang diderita oleh usila di Indonesia dengan angka kejadian sebesar 50%, kemudian diikuti oleh penyakit jantung dan pembuluh darah 29,5%, infeksi saluran pernafasan 12,2%, TBC 11,5%, dan kanker 2,2% (Depkes, 2003) 10.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui kebiasaan minum teh pada usila dan pengaruhnya terhadap kejadian anemia.





B.     RUMUSAN MASALAH
Apakah pengaruh minum teh terhadap kejadian anemia pada usia lanjut di desa Podor Flores?


C.     TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui pengaruh minum teh terhadap kejadian anemia pada usia lanjut di desa Podor Flores.



D.    TINJAUAN PUSTAKA
a.       Teh
Teh adalah minuman yang mengandung kafein, sebuah infusi yang dibuat dengan cara menyeduh daun, pucuk daun, atau tangkai daun yang dikeringkan dari tanaman Camellia sinensis dengan air panas. Teh yang berasal dari tanaman teh dibagi menjadi 4 kelompok: teh hitam, teh oolong, teh hijau, dan teh putih.
b.      Usia lanjut
Menurut Elizabeth B. Hurlock dalam bukunya “PsikologiPerkembangan”, usia tua adalah periode penutup dalam rentang hidupseseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh”dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, beranjak dari waktuyang penuh dengan manfaat.Sedangkan dalam info kesehatan dalam topik usia senja mengatakanbahwa usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti dialami oleh semuaorang yang dikarunia usia panjang, terjadinya tidak bisadihindari olehsiapapun tapi manusia dapat berupaya untuk menghemat terjadinya.Seseorang dikatakan sudah menginjak usia lanjut apabila sudahmencapai usia yang ditentukan. Menurut Organisasi Kesehatan (WHO),seseorang dikatakn memasuki usia lanjut (elderly), yaitu pada usia antara60-74 tahun. Diusia ini, seseorang akan mengalami penurunan baik padafaktor fisik maupun psikisnya.



E.     METODOLOGI PENELITIAN

Studi ini memiliki rancangan potong lintang, artinya pengumpulan data tentang kebiasaan minum teh dan data tentang status anemia dilakukan pada saat yang bersamaan. Studi ini bersifat analitik untuk mengetahui pengaruh minum teh terhadap kejadian anemia pada usila.
Populasi studi ini adalah usila di kota Bandung. Definisi usila pada studi ini adalah penduduk yang berumur 60 tahun atau lebih. Sedangkan sampelnya adalah sebanyak 132 usila yang dipilih secara acak di kecamatan Cidendo Kota Bandung. Berdasarkan besaran perbedaan risiko yang ingin dideteksi (OR=3) dengan interval kepercayaan 95% dan kekuatan uji 90%, proporsi anemia pada kelompok yang tidak minum teh sebesar 50% (Depkes 2003 10, Husaini 2001 11, Nugroho 2002 12), kemudian dengan menggunakan rumus perhitungan besar sampel uji odds ratio (Lemeshow, 1990) 13, maka diperlukan sampel minimal sebanyak 132 usila. Pemilihan sampel dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah memilih satu kecamatan secara acak sederhana dari 26 kecamatan yang ada di kota Bandung, telah terpilih kecamatan Cicendo. Kemudian dari setiap kelurahan (6 kelurahan) yang ada di kecamatan Cicendo dipilih satu RW secara acak proporsional. Pada RW terpilih dibuat daftar usila, kemudian dipilih 22 usila secara acak sederhana. Usila yang menderita penyakit (TBC, tukak lambung, perdarahan, kanker, gagal ginjal, diabetes melitus) atau mengkonsumsi obat-obatan yangdapat mempengaruhi kadar hemoglobin tidak diikutkan dalam studi ini.
Penelitian dilaksanana pada bulan Juni 2005. Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan sendiri oleh tim peneliti sebelum proses pengumpulan data tentang pola makan dilakukan. Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sianmethemoglobin, usila dikategorikan anemia apabila memiliki hemoglobin < 12 gr% (pada wanita) atau < 13 g% (pada pria).
Data tentang kebiasaan minum teh dikumpulkan melalui catatan asupan makanan (food record) 1 x 24 jam selama 7 hari, dan responden dikategorikan minum teh tiap hari jika selama 7 hari selalu minum teh dan dikategorikan kadang-kadang jika responden minum teh namun tidak tiap hari, dan kategori tidak pernah apabila responden tidak pernah minum teh dalam kurun waktu 7 hari tersebut. Kegiatan pemantauan dan bimbingan dalam pencatatan asupan makanan dilakukan oleh kader yang sudah dilatih oleh tim peneliti. Variabel lain yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin pada usila adalah angka kecukupan gizi, angka ini dihitung dengan menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Depertemen Kesehatan mengenai Kecukupan Gizi yang dianjurkan untuk usila di Indonesia (Depkes RI, 1991) 14.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan bantuan komputer. Pemasukan data ke komputer menggunakan perangkat lunak EPI-INFO versi 6.04 sedangkan analisa statistik dengan metode multivariat regresi logistik ganda. Pemodelan multivariat dimulai dengan memasukkan semua variabel yang mempunyai nilai-p kurang dari 0.25, kemudian variabel yang tidak bermakna secara statistik (nilai-p kurang dari 0.05) dikeluarkan satu persatu, sampai didapatkan model akhir yang paling sederhana (semua variabel
mempunyai nilai-p kurang dari 0.05) Hasil akhir dari regresi logistik ganda berupa nilai
Odds Ratio (OR) dari kebiasan minum teh terhadap kejadian anemia yang sudah dikontrol oleh variabel lainnya.
3. Hasil dan Pembahasan
Sebagian besar responden adalah usila berumur 60—70 tahun (82%), berjenis kelamin laki-laki (81%), Suku Sunda 89%), tidak bekerja (89%), giginya tidak
lengkap (98%). Kejadian anemia pada usila adalah sebesar 48% dengan proporsi kejadian yang hampir sama baik pada usila laki-laki maupun pada usila perempuan. Apabila dilihat dari asupan makanan yang dikonsumsi oleh usila, terlihat bahwa sebanyak 57,6% usila yang
mengkonsumsi lauk (asupan protein hewani) dengan jumlah yang cukup, sebanyak 48,6% yang mengkonsumsi pauk (asupan protein nabati) dengan jumlah yang cukup, sebanyak 65,2% mengkonsumsi sayur dalam jumlah yang cukup, 43,9% mengkonsumsi buah dalam jumlah yang cukup, dan hanya sebagian kecil (25,8%) mengkonsumsi nasi dalam jumlah yang cukup (Data tidak ditampilkan)

Hubungan antara kebiasaan minum teh dan asupan
makanan dengan kejadian anemia pada usila
Jumlah Persentase Anemia n (%) OR (95% CI) Nilai-p
- Kebiasaan minum teh - Minum teh
Setiap hari 65 49,2 Setiap hari 54 (83,1) 36,8 (10,7-125,7) 0,000
Kadang-kadang 33 25,0 Kadang-kadang 5 (15,2) 1,3 (0,3—5,5) 0,685
Tidak pernah 34 25,8 Tidak pernah 4 (11,8)

- Status Anemia - Asupan lauk
Anemia 63 47,7 Kurang 52 (92,9) 76,8 (23,1-255,3) 0,000
Tidak 69 52,3 Cukup 11 (14,5)

- Umur - Asupan pauk
60—70 tahun 108 81,8 Kurang 53 (65,4) 7,8 (3,4-17,8) 0,000
71—89 tahun 24 18,2 Cukup 10 (19,6)

- Jenis kelamin - Asupan sayur
Laki-laki 25 18,9 Kurang 41 (89,1) 23,8 (8,4-67,9) 0,000
Perempuan 107 81,1 Cukup 22 (25,6)

- Pendidikan - Asupan buah
SD atau lebih rendah 99 75,0 Kurang 48 (64,9) 5,3 (2,5-11,3) 0,000
SLTP atau lebih tinggi 33 25,0 Cukup 15 (25,9)

Model akhir regresi logistik ganda antara kebiasaan
minum teh dan asupan makanan dengan kejadian anemia
pada usila

B OR (95% CI) Nilai-p Minum teh tiap hari 4,52 91,8 (8,3—220,8) 0,000 Minum teh kadang-2 0,68 1,9 (0,2—22,1) 0,585 Tidak minum teh 1,0 Asupan lauk kurang 4,57 96,3 (14,7—380,9) 0,000 Asupan pauk kurang 3,14 24,6 (3,1—191,2) 0,002 Overal percentage = 94.7% Proporsi kejadian anemia juga lebih tinggi (65%) pada kelompok usila yang asupan pauknya kurang dibandingkan dengan usila yang asupan pauknya cukup (19%), dari nilai odds ratio terlihat bahwa risiko usila yang kurang asupan pauknya untuk menderita anemia adalah 7 kali lebih besar dibandingkan usila yang asupan pauknya cukup. Jika dilihat asupan makanan lainnya seperti sayursayuran atau buah-buahan terlihat juga bahwa apabila asupannya kurang maka peluang usila untuk menderita anemia akan lebih besar dan semua hubungan tersebut bermakna secara statistik (nilai-p kecil dari 0,001). Namun demikian, analisis bivariat memiliki keterbatasan yakni hubungan yang didapat belum mempertimbangkan pengaruh dari variabel lainnya, sehingga hubungan yang didapat bisa saja terjadi secara kebetulan. Untuk mendapatkan hasil yang akurat maka analisis multivariat perlu dilakukan.  Model akhir dari regresi logistik ganda antara kebiasaan minum teh dan asupan makanan dengan kejadian anemia pada usila. Dari tujuh variabel pada analisis biraviat yang berhubungan bermakna dengan anemia (minum teh, minum kopi, asupan lauk, asupan pauk, asupan buah, asupan sayur, dan status ekonomi), setelah dilakukan analisis multivariat ternyata didapatkan hanya tiga variabel yang benar-benar berhubungan dengan kejadian anemia pada usila yaitu kebiasan minum teh, kecukupan lauk, dan kecukupan pauk. Ketiga variabel ini dapat menjelaskan 94,7% variasi pada variabel anemia artinya kemungkinan untuk salah dalam memprediksi anemia oleh ketiga variabel ini sangat kecil.
Pada kondisi kecukupan lauk dan pauk yang sama, maka usila yang minum teh tiap hari berisiko untuk menderita anemia 92 kali dibandingkan usila yang tidak setiap hari minum the (nilai-p 0,000). Sedangkan pada usila yang kadang-kadang atau tidak pernah minum teh kejadian anemianya tidak berbeda bermakna (nilai-p 0,585) Pada kondisi yang sama kebiasaan minum teh dan kecukupan pauknya, usila yang kurang asupan lauknya mempunyai risiko 96 kali untuk menderita anemia dibandingkan usila yang asupan lauknya cukup. Demikian pula usila yang kurang asupan pauknya mempunyai risiko 25 kali lebih besar untuk menderita anemia dibandingkan usila yang asupan pauknya cukup. Kejadian anemia pada usila di Kota Bandung sebesar 47,7%, angka ini hampir sama dengan hasil penelitian lainnya di Indonesia yang melaporkan angka anemia pada usila sekitar 50%.
Sebagian besar anemia disebabkan oleh karena kekurangan zat besi, penyebab lainnya sangat kecil seperti kekurangan asam folat dan vitamin B12. Pada usila penyebab kurangnya zat besi dapat beragam, tidak hanya karena kekurangan asupan zat besi tetapi juga karena terganggunya proses penyerapan zat besi. Kekurangan asupan dapat terjadi karena kurangnya konsumsi protein hewani (seperti daging yang merupakan sumber utama zat besi). Kurangnya
konsumsi daging dapat terjadi karena faktor ekonomi yang kurang mendukung dan faktor gigi pada usila yang tidak lengkap lagi dan menggangu pada saat makan. Sedangkan gangguan penyerapan zat besi dapat disebabkan karena faktor penuaan dan adanya zat yang
menghambat penyerapan seperti teh apabila dikonsumsi bersama-sama.
Penelitian ini membuktikan bahwa selain asupan lauk dan pauk yang kurang, faktor lain yang berperan dalam kejadian anemia pada usila adalah prilaku minum teh
setiap hari. Walaupun telah banyak penelitian yang membuktikan beragam manfaat dari minum teh, namun cara konsumsi teh yang tidak tepat akan menimbulkan dampak negatif, terutama terjadinya anemia pada usila. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain
karena teh mengandung tanin yang dapat mengikat mineral (termasuk zat besi) dan pada sebagian teh (terutama teh hitam) senyawa polifenol yang berperan sebagai antioksidan ternyata telah mengalami oksidasi, sehingga dapat mengikat mineral seperti Fe, Zn, dan Ca
sehingga penyerapan zat besi berkurang. Sedangkan pada teh hijau senyawa polifenolnya masih banyak, sehingga kita masih dapat meningkatkan peranannya sebagai antioksidan.
Angka kejadian anemia pada usila dapat diturunkan melalui 3 langkah utama yaitu 1) perubahan pola minum teh,
 2) meningkatkan asupan lauk (protein hewani), dan
 3). meningkatkan asupan pauk (protein nabati).
 Perubahan pola minum teh dapat  dilakukandengan cara mengurangi konsumsi teh menjadi tidak setiap hari atau
minum 2--3 jam setelah makan seperti yang dianjurkan oleh Alsuhendra (2002) 17. Kita (termasuk usila) mempunyai kebiasaan minum teh bersamaan dengan saat makan nasi. Ini kekeliruan gizi yang harus diubah. Seperti telah dijelaskan, teh mengandung tanin yang
dapat mengikat mineral. Untuk itu sebaiknya minum teh tidak dilakukan bersamaan dengan makan, tetapi sekitar 2--3 jam sesudahnya.

tugas kuantitatif -maria wahami yanti yana



 FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN KE JADIAN PENDERITA PENYAKIT TB PARU BTA POSITIF DI KECAMATAN X


A.
 Latar Belakang

         Penyakit Tuberculosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit infeksi kronis menular yang menjadi masalah kesehatan. Penyakit yang sudah cukup lama ada ini merupakan masalah global di dunia dan diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh bakteri ini. Hal-hal yang menjadi penyebab semakin meningkatnya penyakit TBC di dunia antara lain karena kemiskinan, meningkatnya penduduk dunia dan perubahan struktur usia manusia yang hidup, perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi di negara-negara miskin, tidak memadainya pendidikan mengenai TBC di antara para dokter, kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik dan pengawasan kasus TBC serta adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia (Amin).
Di negara maju dapat dikatakan penyakit TBC dapat dikendalikan, namun adanya peningkatan kasus penyakit HIV merupakan ancaman yang sangat potensial dalam peningkatan kasus penyakit TBC baru. Pada tahun 1995 di seluruh dunia terdapat 17 juta kasus infeksi HIV dan kira - kira ada 6 juta kasus AIDS pada orang dewasa dan anak sejak timbulnya pandemi HIV. Kira-kira sepertiga dari semua orang yang terinfeksi HIV juga teinfeksi tuberkulosis, Dari jumlah ini 70% berada di Afrika, 20% di Asia dan 80% diAmerikaSerikat
          WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC pada tahun 1993, karena di sebagian besar negara di dunia, penyakit TBC tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyaknya penderita TBC yang tidak berhasil disembuhkan. Dinegara-negara miskin kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Daerah Asia Tenggara menanggung bagian yang terberat dari beban TBC global yakni sekitar 38% dari kasus TBC dunia (Depkes).
Pada tahun 1995, ada sekitar 9 juta pasien TBC baru dan 3 juta kematian akibat TBC di dunia. Diperkirakan 7-8 juta yang terkena TBC di negara berkembang, ini terjadi karena tidak ada peningkatan yang signifikan di dalam upaya pencegahannya dalam tahun 1999-2020. WHO memperkirakan dalam dua dekade pertama di abad 20, satu miliar orang akan terinfeksi per 200 orang berkembang menjadi TBC aktif dan 70 juta orang akan mati akibat penyakit ini (Nelson). Penyebab kematian wanita akibat TBC lebih banyak daripada akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TBC adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun) (Depkes). Diperkirakan seorang pasien TBC dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20 - 30 %. Jika meninggal akibat
TBC, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TBC juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial - stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat (Achmadi).
Di Indonesia, TBC merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TBC di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TBC didunia. Diperkirakan pada
tahun 2009, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang sedangkan angka kematian di Indonesia tahun 2010 sebesar 41/100.000 penduduk. Insidensi kasus TBC BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Pada tahun 1995-1998, cakupan penderita TBC dengan strategi DOTS baru mencapai 10% dan eror rate pemeriksaan belum dihitung dengan baik meskipun cure rate lebih besar dari 85% serta penatalaksanaan penderita dan pencatatan pelaporan belum seragam (Depkes).
Titik berat penanggulangan program TB saat ini di tekankan pada penemuan penderita baru lebih dari atau sama dengan 70 %, angka konversi lebih dari atau satu dengan 80 %, angka kesembuhan lebih besar atau sama dengan 85 %, angka pemeriksaan laboratorium kecil dari atau sama dengan 5 %, di harapkan dapat segera tercapai. Namun sampai saat ini angka indikator tersebut masih belum tercapai, hal ini dapat dimaklumi mengingat terjadinya TB Paru adalah multicausal (disebabkan oleh banyak faktor) (Depkes)
Sumber penularan penyakit TBC adalah penderita TBC dengan BTA (+). Apabila penderita TBC batuk, berbicara, atau bersin dapat menularkan kepada orang lain. Tetapi faktor risiko yang berperan penting dalam penularan penyakit TBC diantaranya faktor kependudukan dan faktor lingkungan. Faktor kependudukan diantaranya adalah jenis kelamin, umur, status gizi, dan, kondisi sosial ekonomi. Sedangkan faktor lingkungan diantaranya lingkungan dan ketinggian wilayah, untuk lingkungan meliputi kepadatan penghuni, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, suhu, kelembaban, dan ketinggian wilayah (Ahmadi). Penelitian Chapman et al mengatakan bahwa faktor lingkungan dan sosial, kepadatan penghuni, serta kemiskinan berperan dalam timbulnya kejadian TBC. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya hubungan antara kejadian TBC pada anak-anak yang tinggal dengan satu atau lebih orang dewasa yang menderita TBC (Nelson).
           Penyakit TB Paru yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama lingkungan dalam rumah serta perilaku penghuni dalam rumah karena dapat memepengaruhi kejadian penyakit, konstruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko sumber penularan berbagai penyakit infeksi terutama ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan TB Paru (Depkes, XXXX). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mempengaruhi kejadian penyakit TBC sepert hasil penelitian Dahlan (2000) mengatakan bahwa pencahayaan, ventilasi yang buruk dan kepadatan penghuni yang tinggi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit TB Paru di Kota Jambi. Penelitan Edwan (XXXX) menunjukkan bahwa kelembaban rumah yang tidak memenuhi syarat mempengaruhi dengan kejadian TB Paru di Kecamatan X. Sedangkan Penelitian Ayunah (XXXX) menunjukkan hasil bahwa ventilasi dalam rumah yang kurang baik dapat mempengaruhi kejadian TB Paru di Kecamatan Y.
Di Kota Z, TBC merupakan penyakit lama yang masih tetap ada, pada triwulan pertama tahun XXXX jumlah penderita baru 316 orang ditambah sembilan penderita kambuhan. Selama tahun XXXX terdapat 1.759 penderita TBC baru ditambah 61 penderita kambuhan dengan Case Detection Rate (CDR) sebesar 82,1 %. Pada Tahun XXXX jumlah penderita TB paru BTA (+) sebanyak 1153 kasus dengan CDR sebesar 80 %, tahun XXXX di temukan sebanyak 1092 kasus dengan CDR sebesar 70 %, dan pada tahun XXXX mengalami penurunan hanya terdapat 882 kasus dengan CDR sebesar 54,1 %. Hal ini disebabkan karena belum maksimalnya kerja PMO (pengawas minum obat) serta kepatuhan penderita dalam menyelesaikan pengobatan yang relatif lama (Dinas Kesehatan Z).
          Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka di kota Z khususnya Kecamatan X perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian penderita TB Paru BTA positif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam kejadian penyakit ini.

B.  Perumusan Masalah
           Tuberkulosis Paru adalah penyakit yang merupakan masalah yang serius, banyak faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit ini. Angka kesakitan penyakit TB Paru dengan hasil BTA (+) di Kota Z khususnya Kecamatan X masih cukup tinggi. Adanya masalah penyakit TB Paru di sebabkan oleh beberapa faktor risiko, salah satunya adalah faktor lingkungan seperti kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai. Berdasarkan hal tersebut diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.

C.  Pertanyaan Penelitian
         Apakah faktor risiko lingkungan berhubungan dengan kejadian TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z ?

D. Tujuan

 1.  Untuk mengetahui faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian TB                 Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
 Untuk mengetahui gambaran faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian,ventilasi pencahayaan, suhu, kelembaban dan jenis lantai dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
2.  Untuk mengetahui gambaran karaktristik individu meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok dengan kejadian penderita TB Paru (+) di Kecamatan X Kota Z.
3.  Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.
4.  Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi dengan kejadian penderita TB Paru BTA (+) di Kecamatan X Kota Z.


E.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat di ambil dari penelitaian ini adalah antara lain :
1. Mengetahui faktor risiko lingkungan yang berperan dalam timbulnya penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z.
2. Dapat memberikan masukan kepada pihak yang terkait dalam rangka penanggulangan dan pencegahan penyakit TB paru di Kecamatan X Kota Z
F. Tinjauan Pustaka
1.      Penderita TB Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

2.      Penderita TB Paru
Penyakit TBC atau yang biasa dikenal dengan tuberkulosis merupakan suatu penyakit infeksi kronis / menahun dan menular yang disebabkan oleh bakteri Mikobakterium tuberklosa yang dapat menyerang pada siapa saja tanpa memandang usia dan jenis kelamin namun sesuai fakta yang ada bahwa penderita penyakit TBC lebih banyak menyerang pada usia produktif  yang berkisar antara usia 15 tahun – 35 tahun.



G. METODOLOGI PENELITIAN

           Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain studi kasus kontrol untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor risiko lingkungan dengan kejadian TB paru BTA (+) di Kecamatan X bulan Oktober tahun XXXX sampai April tahun XXXX.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni tahun XXXX di wilayah kerja empat puskesmas yang ada di Kecamatan X yaitu Puskesmas A, Puskesmas B, Puskesmas C dan Puskesmas D. Sampel yang di ambil adalah semua tersangka TB Paru yang datang berobat ke puskesmas yang berumur >15 tahun. Jumlah sampel yang diperlukan adalah 50 untuk kasus dengan hasil pemeriksaan BTA (+) dan 50 untuk kontrol dengan hasil pemeriksaan BTA (-), di mana pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling.
Faktor risiko yang diteliti adalah faktor risiko lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, suhu, dan lantai rumah, dengan memperhatikan faktor karakteristik individu sebagai faktor yang mempengaruhinya meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, perilaku batuk dan kebiasaan merokok. Karena semua variabel yang telah disebutkan diatas memegang peranan penting timbulnya kejadian penyakit.